Polemik Nikah / Kawin Siri Terkait KUHP & UU Perkawinan


Bagaimanakah penegakan hukum zina dan kejahatan perkawinan terkait Nikah/Kawin siri?


Menjadi menarik ketika kita mencoba mengetahui apakah nikah siri dapat dikenakan pidana zina / kejahatan perkawinan. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya untuk kita menyamakan persepsi tentang nikah siri itu sendiri. Dalam pembahasan ini, Kita artikan bahwa Nikah/Perkawinan Siri adalah perkawinan yang sah secara agama namun tidak terdaftar di Catatan Sipil/KUA. (simak artikel Nikah Siri Dalam Hukum Perkawinan Indonesia).

Di Indonesia, yang dapat menikah dua kali atau lebih sampai dengan 4 kali adalah pihak suami, itupun dengan ketentuan mendapat izin dari pengadilan. (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan). Saat sang suami tersebut menikah untuk kedua, ketiga atau keempatkalinya, maka pernikahan/perkawinannya tersebut akan dianggap memiliki kekuatan hukum bilamana si suami telah melakukan pernikahan berdasarkan ketentuan/izin pengadilan (Sah dan Tercatat / memenuhi ketentuan). Dalam hal ini perkawinan suami dengan isteri-isterinya tersebut aman sepanjang tidak ada sanggahan dari pihak-pihak yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah dan harus dibatalkan. (Baca artikel tentang pembatalan perkawinan)

Berbeda halnya jika pasangan (suami/isteri) melakukan dua kali perkawinan yangmana salah satunya tidak terdaftar di catatan sipil/KUA, maka perkawinan seperti inilah yang akan memunculkan masalah hukum seperti Tindak Pidana Kejahatan Perkawinan / Zina.

Berikut ini adalah Pengaturan Perzinahan dalam KUHP,


Pasal 284 ayat (1) butir (1) KUHP:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

Pasal 284 ayat (1) butir (2) KUHP:
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Pasal 284 ayat (2) KUHP:
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

Pasal 284 ayat (3) KUHP:
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

Pasal 284 ayat (4) KUHP:
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 284 ayat (5) KUHP:
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pengaturan Kejahatan Perkawinan dalam KUHP,


Pasal 279 KUHP:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
  1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 
  2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 - 5 dapat dinyatakan.

Namun disayangkan dalam proses penegakan hukum terhadap zina dan kejahatan perkawinan yang dikaitkan dengan nikah siri di Indonesia sangat tidak mencerminkan kepastian hukum. Terlihat secara jelas penegakan hukum terhadap nikah siri kontradiktif antar satu putusan dengan putusan lainnya, hal ini disebabkan belum seragamnya penafsiran "Perkawinan/Pernikahan" dikalangan penegak hukum. Perbedaan pandangan tentang Nikah/kawin siri terbagi dua yaitu:
  1. Kawin/Nikah Siri Diakui Sah Walau Tidak Tercatat (Sah, telah dianggap ada perkawinan)
  2. Secara Hukum Tidak Dianggap Perkawinan (tidak memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
Akibat penafsiran Perkawinan Siri yang berbeda maka secara logis dapat timbul dua persepsi:
  • Nikah siri diakui -->  Bukan Perzinahan (284 KUHP) --> Termasuk Kejahatan Perkawinan (279 KUHP) dalam hal ada perkawinan sebelumnya yang jadi penghalang.
  • Nikah siri tidak diakui --> Bukan Kejahatan Perkawinan (279 KUHP) --> Termasuk Pidana Perzinahan (284 KUHP) dalam hal pelaku nikah siri masih terikat perkawinan lain.
Meskipun telah dibuat SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan terkait, yang salahsatu didalam isinya menyatakan "Bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin isteri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan;", namun penulis beranggapan bahwa isi dari sema tidaklah menjawab persoalan-persoalan hukum (zina dan kejahatan perkawinan) yang muncul terkait/akibat dari nikah siri. Penulis menganggap bahwa SEMA tersebut tidaklebih hanya sekedar penegasan dari apa yang memang sudah tercantum dalam pasal 279 KUHP. Sedangkan kontradiksi yang muncul justru disebabkan penafsiran nikah siri itu diaanggap pernikahan atau bukan.

Mungkin karena Mahkamah Agung tidak ingin mencampuri dalam ranah privat tentang perkawinan yang seyogianya lebih tepat untuk diajukan tafsirnya di Mahkamah Konstitusi tentang "perkawinan" mana yang sah dan diakui serta yang tidak sah dan tidak diakui.

Berikut beberapa putusan hakim yang penulis kutip dari artikel berjudul Disparitas Putusan Hakim Dalam Kasus Nikah Siri oleh Nafi’ Mubarok yang dimuat dalam AL-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 6, Nomor 2, Oktober 2016; ISSN 2089-0109.

Contoh Putusan hakim yang mengakui keabsahan nikah siri antara lain:

  1. Putusan MA No. 157 K/MIL/2010 pada tanggal 20 Agustus 2010 dalam tindak pidana “telah kawin (menikah) sedang ia mengetahui, bahwa perkawinannya sendiri yang telah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi”, sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat (1) ke- 1 KUHP, dengan terdakwa Sumarno. Dalam putusannya, MA menolak kasasi terdakwa, sehingga menguatkan putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta No.PUT/62-K/PMT-II/AD/VI/2010 tanggal 16 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan Militer ll-10 Semarang No. PUT/64-K/PM.II-10/AD/I/2010 tanggal 25 Januari 2010, yang menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 279 ayat (1) ke- 1 KUHP. Sedangkan perbuatan “telah kawin” yang dilakukan terdakwa adalah “nikah secara siri”. Pertimbangan Majelas Hakim adalah bahwa perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam dan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga sebuh perkawinan sah jika perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama masing-masing.
  2. Putusan PN Bangil No. 504/Pid.B/2011/PN.Bgl. pada tanggal 3 Oktober 2011 dalam tindak pidana “seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel)”, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 (1) ke-1 a KUHP, dengan terdakwa Khoiron Ubaidillah. Dalam putusannya, PN Bangil membebaskan terdakwa dari dakwaan. Pertimbangan Majelis Hakim adalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan oleh agama atau kepercayaannya, sedangkan pencatatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan agar perkawinan mempunyai kekuatan dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pernikahan terdakwa adalah sah, sehingga persetubuhan mereka juga sah sebagai suami istri, sehingga bukan sebagai “gendak”.

Contoh Putusan hakim yang tidak mengakui keabsahan nikah siri antara lain:

  1. Putusan MA No. 17 K/MIL/2012 pada tanggal 6 Desember 2012 dalam tindak pidana “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu” sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 279 (1) ke-1 KUHP dengan terdakwa Ahmad Yusuf. Dalam putusannya, MA menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Oditur Militer), sehingga menganggap berlaku putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang Nomor: 67-K/PM.II-10/AD/X/2011 tanggal 5 Desember 2011, yaitu “terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, MA hanya mengakui perkawinan kedua dan tidak mengakui perkawinan pertama, dikarenakan perkawinan yang pertama merupakan perkawinan siri.
  2. Putusan Pengadilan Tingi Banten No. 114/PID/2007/PT.BTN. pada tanggal 19 Pebruari 2008 dalam tindak pidana “seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel)”, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 a KUHP, dengan terdakwa Dani Kusmarahadi. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1223/Pid.B/2007/PN.TNG. tanggal 20 September 2007, yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinaan”. Sedangkan perbuatan “perzinaan” yang dilakukan terdakwa sudah didahului dengan nikah siri. Pertimbangan Majelis Hakim adalah perkawinan siri meskipun sah secara agama bukanlah merupakan perkawinan secara hukum nasional, sehingga dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, hubungan suami isteri yang dilakukan dengan landasan perkawinan siri dianggap tidak sah, sehingga disebut sebagai perzinaan.

Contoh Putusan hakim yang mengakui sekaligus tidak mengakui keabsahan nikah siri adalah:


Putusan Pengadilan Militer Tinggi-I Medan No. 21-K/PMTI/BDG/AD/II/2012 pada tanggal 5 Maret 2012 dengan terdakwa Ramlan yang didakwa dengan dua tindak pidana, yaitu:
  1. “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP.
  2. “Setiap orang dilarang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam putusannya, Pengadilan Militer Tinggi I Medan menguatkan putusan Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh Nomor: PUT/157-K/PM.I-01/AD/XI/2011 tanggal 26 Januari 2012, yaitu:
  1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP.
  2. Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya”.
Pertimbangan majelis hakim adalah bahwa terdakwa sudah menikah dengan Neneng Firdayanti, yang berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) mengatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”, sehingga perkawinannya adalah sah. Dengan demikian, akibat hukum dari perkawinan berupa kewajiban memberikan nafkah berlaku, sebagaimana Pasal 34 ayat (1), yaitu “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.

Padahal “perkawinan” yang dilakukan terdakwa, baik perkawinan pertama maupun perkawinan kedua adalah sama-sama pernikahan siri (perkawinan di bawah tangan). Jika perkawinan yang pertama dianggap sah, maka seharusnya perkawinan yang kedua-pun dianggap sah, sehingga terdakwa seharusnya dinyatakan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP. Dan, jika perkawinan kedua dianggap tidak sah, sehingga terbebas dari dakwaan pertama, maka perkawinan pertama pun harus dianggap tidak sah, sehingga terdakwa harus terbebas dari dakwaan kedua berupa penelantaran anggota keluarga, karena anggota keluarga tersebut merupakan hasil dari perkawinan di bawah tangan.

Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa terdapat kekaburan substansi hukum dalam nikah siri, baik dalam norma hukumnya yang merupakan hukum in abstracto maupun dalam penerapan hukumnya berupa putusan hakim yang merupakan hukum in concreto.

---

Ingin melihat artikel tentang Perkawinan-Perceraian lainnya? dapat anda temukan ►disini

0 comments